Materi Islamic Journalist Class # Pengalaman Meliput Konflik di Patani, Thailand Selatan



1. Pengalama melakukan liputan di daerah konflik selalu memilki cerita yang menarik bagi setiap wartawan. Ada semacam prinsip di kalangan jurnalis, "Ingin tahu mental seorang jurnalis? Kirimlah dia ke negara konflik."
 
2. Salah satu daerah konflik di Asia Tenggara adalah Patani. Letaknya di Thailand Selatan. Menariknya, walaupun secara teritori berada pada wilayah Thailand, tapi bahasa sehari-hari masyarakatnya adalah bahasa Melayu.
 
3. Patani adalah wilayah berbasis muslim di negara Thailand. Di sana, kita akan menemui banyak masyarakat memakai kopiah dan jilbab. Sistem pendidikan pun dilakukan di Madrasah maupun Pesantren
 
4. Saya pernah bertanya, kenapa bahasa Melayu masih dipertahankan di Patani di tengah arus Siamisasi yang gencar dilakukan pemerintah Thailand? Mereka menjawab, "Karena kami tidak ingin kehilangan identitas kami."
 
5. Iya identitas mereka sebagai Muslim dan bangsa Melayu. Sayangnya, hanya sedikit warga Patani yang kini berbahasa Melayu. Itupun bahasa Melayu yang mereka utarakan sudah semakin sulit kita pahami sebagai orang Indonesia. Sebab, bahasa mereka sudah bercampur dengan bahasa Siam atau bahasa lokal negara Thailand.
 
6. Kenapa ini terjadi? Karena pemerintah Thailand mewajibkan sekolah-sekolah di Patani dengan menggunakan bahasa Siam. Upaya ini nampaknya membawa dampak serius atas kian pudarnya bahasa Melayu bagi warga Patani
 
7. Upaya saya bersama rekan2 wartawan lainnya masuk Patani memang sebuah ujian yang menantang. Saya masih ingat sekitar 6 tahun lalu, kami para wartawan muslim di Indonesia, pernah kedatangan saudara-saudara kami di Patani. Mereka mengutarakan hal yang mengejutkan.
 
8. Mereka bilang, kalian harus angkat isu soal Patani. Ya, kalian wartawan dari Indonesia. Saya masih ingat perwakilan Patani yang hadir dulu ke Indonesia, adalah seorang ibu dan ustadz yang sudah tidak lagi berada di Patani. Namun, mereka menyuarakan nasib bangsanya dari luar Thailand.
 
9. Lantas saya tanya apa alasannya? Bukankah isu ini lebih dekat jika digerakkan teman-teman wartawan di Malaysia? Namun, mereka menggeleng. Ia berkata, pers di Malaysia tidak selincah di Indonesia.
 
10. Harapan ini betul-betul terekam di memori saya. Walaupun ucapan itu dilakukan jauh sebelum saya berangkat ke Patani melalui misi kemanusiaan NGO-NGO di Asia Tenggara. Saya sendiri, sejak lama, sering melihat teman-teman di kampus yang berasal dari Patani.
 
11. Wajah mereka tidak jauh dari wajah orang Indonesia pada umumnya. Mereka termasuk mahasiswa yang giat belajar. Saya pun baru memahami kenapa banyak mahasiswa dari Patani yang belajar dari Indonesia. Salah satu alasannya adalah menjaga warisan "Melayu" di bumi Patani. Masya Allah.
 
12. Dengan belajar di Indonesia, mereka masih bisa mempertahankan identitas budaya Melayu, khususnya, agama dan bahasa.
 
13. "Jika ada orang Patani beragama non-muslim atau pindah ke Budha, maka identitas Pataninya akan hilang," begitu kata salah seorang tokoh di Patani yang sama temui dalam liputan.
 
14. Nah apa sih yang harus kita lakukan sebelum turun dalam peliputan konflik? Yang pertama adalah mental. Pastikan antum memiliki mental baja ketika terjun ke wilayah konflik.
 
15. Sebab, dia akan menemui medan yang jauh berbeda dengan tempat di mana ia liputan sehari-hari. Dari mulai terbatasnya akses komunikasi, perjalanan yang melelahkan, dan suasana mencekam yang belum pernah kita temui.
 
16. Ketika kami dahului masuk ke Wilayah Patani, askes masuk tidaklah mudah. Walaupun teman-teman berangkat dalam misi kemanusiaan dan reportase, pemeriksaan tetap dilakukan begitu ketat.
 
17. Saya ingat, ketika coba masuk ke lokasi, kami harus melalui check border berkali-kali. Saya hitung ada 4-5. Pemeriksaan dilakukan oleh militer Thailand. Mereka memeriksa kendaraan kami satu per satu.
 
18. Tidak jarang mereka meminta salah satu dari kami keluar, lalu menanyai maksud dan tujuan. Walaupun sejak awal, kami sudah kemukakan misi kemanusiaan dalam kunjungan ini.
 
19. Aparat militer yang memeriksa tiap wartawan dan aktivis untuk masuk bersenjata lengkap. Mereka berjaga-jaga di pos-pos dengan pakaian loreng dan helm yang selama ini menjadi ciri khas tentara. Setiap pos diisi 2-3 tentara.
 
20. Situasinya sangat sepi. Tidak ada orang. Kecuali para tentara yang berjaga-jaga dengan menenteng senjata.
 
21. Jalur yang kita lalui juga berkelok-kelok. Di sisi kanan kirinya hanya ada ilalang. Di belakang ilalang tersebut bersembunyi rerimbunan hutan. Kelam dan sunyi. Seakan menjadi saksi bisu atas konflik yang telah merenggut banyak korban, khususnya umat Islam di Patani.
 
22. Di antara jalur kelok-kelok itu dipasang sejumlah penghalang. Saya lupa bagaimana bentuknya. Tapi seperti sebuah bangunan kayu berbentuk kotak. Pernah melihat kawat-kawat kayu yang dipasang polisi untuk menghadang para pendemo? Ya, seperti itu.
 
23. Jadilah, mobil yang membawa kami harus berkelok-kelok di jalan untuk menghindarinya. Persis seperti seorang supir yang sedang uji untuk mendapatkan SIM. Saya tidak tahu persis untuk apa itu dilakukan militer Thailand. Mungkin untuk menahan laju mobil agar tidak kencang. Maklum ini daerah operasi militer. Setiap saat ada banyak potensi jiwa yang melayang. Perang bisa terjadi seketika.
 
24. Maka itu, pemahaman medan benar-benar harus diketahui seorang wartawan agar ia tidak kaget ketika sampai lokasi. Maka itu, seorang wartawan harus meyakini ketika terjun ke daerah konflik bukanlah tamasya. Tapi, ia ibadah untuk mengabarkan ke khalayak luas tentang kondisi kemanusiaan saudaranya.
 
25. Persiapan riset dan penelitian mendalam harus dilakukan sebelum terjun ke medan konflik. Ia harus mengenali sejarah dan background histors terjadinya konflik yang akan diliput. Lalu, semuanya itu dituangkan dalam TOR perihal apa yang akan kita liput.
 
26. Sebaiknya, wartawan yang diterjunkan ke daerah konflik sudah "khatam" liputan konflik di Indonesia. Ini agar dia tidak bingung-bingung amat jika menemui medan yang sama, bahkan lebih buruk.
 
27. Skill menulis juga harus menunjang. Sebab, jika terjun ke medan konflik, wartawan harus bisa menguasai penulisan feature. Banyak kisah-kisah menarik yang harus kita sajikan ke pembaca. Amat sangat sayang jika semua itu luput kita tulis.
 
28. Nah, untuk kelas menulis di grup Islamic Journalist Class, materi penulisan feature akan kita pelajari. Tapi mohon sabar. Belajar perlu tahapan. Kita tamatkan dulu materi penulisan berita, karena insting menulis feature tidak akan kita dapatkan sebelum kita menguasai penulisan berita.
 
29. Itulah yang kami lakukan ketika akhirnya berhasil bertemu dengan para warga. Mereka merasa senang kedatangan saudara-saudaranya dari Indonesia. Mereka menanggap Indonesia adalah kakak tertua masyarakat Patani.
 
30. Kisah yang mereka utarakan, saya simak baik-baik. Agar tidak hilang dari ingatan, kami pun merekamnya sebagai bahan tulisan.
 
31. Saya akhirnya menulis berita dan juga feature tentang kisah-kisah mereka. Kisah pesantren-pesantren mereka ditutup, gubuk-gubuk santri yang dibakar, hingga turut menghanguskan Al-Qur'an.
 
32. Kami pun diajak mengunjungi Masjid Kerisik yang menjadi saksi bisu kekejaman militer Thailand.
 
33. Masjid Kerisik dalam bahasa Thailand dikenal Krue Se Mosque atau Pitu Krue-ban Mosque. Kerisik sendiri adalah kata dalam bahasa Melayu. Artinya, pasir di daerah pantai yang berwarna putih bagaikan mutiara. Pada zaman dahulu, ketika orang-orang Arab berlayar sampai ke pantai ini, mereka menamakan daerah ini "lu 'lu'" atau "mutiara" dalam bahasa Melayu.
 
34. Menurut catatan sejarah, inilah masjid yang pertama di Asia Tenggara yang dibangun dengan menggunakan bata merah.
 
35. Namun, kini Masjid Kerisik bukan lagi dikenal dengan arsitektur menawannya. Melainkan, dikenal dengan kisah pilu gugurnya 32 muslim Patani karena agresi militer Thailand.
 
36. Pada tanggal 28 April 2004, Militer menyerbu masjid setelah pengepungan selama tujuh jam. Mereka mengejar para remaja dan pemuda muslim yang bersembunyi di balik Masjid bersejarah itu. Alasannya, mereka dianggap melawan militer.
 
37. Masjid tua peninggalan abad ke-17 ini hancur karena aparat keamanan menembakinya sejak pukul 05.00 pagi hingga 14.10 petang. Meskipun telah direnovasi, jejak-jejak itu masih belum hilang saat saya mengunjunginya.
 
38. Oh ya, dalam peliputan intelijen dan militer pun tidak lepas memantau kami. Mereka terus mengawasi kami. Saat kami ke pesantren, mereka pun terus membuntuti mobil kami dari belakang. Ketika kami turun, mereka pun ikut turun dan berjaga-jaga dari radius 50 meter.
 
39. Ya, Patani memang daerah operasi militer. Saya tidak bisa membayangkan, situasi ini harus dihadapi warga setiap hari, khususnya anak-anak kecil. Deru senjata dan jeritan tampaknya telah menjadi teman akrab mereka sehari-hari.
 
40. Bahkan saya masih ingat tentang suasana ini saat saya sarapan di sebuah pasar tradisional di Patani. Tak saya prediksi dan lihat sebelumnya, tiba-tiba moncong tank lewat dekat tak jauh dari pipi saya.
 
41. Saya seketika menghentikan makan. Terperangah. Sendok yang hendak masuk ke mulut tertahan. Saya masih tidak sadar ada sebuah besi besar baru saja melewati wajah saya.
 
42. Iya itu tank.
 
43. Menurut penuturan warga, setiap hari ada tentara yang mati di sini.
 
44. Saya tidak bisa membayangkan ketika membela ikan di Pasar Kramat Jati, tiba-tiba ada tentara lewat membawa tank besarnya. Tapi di Patani, itulah pemandangan sehari-sehari
 
45. Saya masih ingat ketika mengunjungi sebuah media lokal di Patani, ledakan bom pun terdengar kuat dari kejauhan. Kami sempat menghentikan sejenak obrolan dengan wartawan lokal.
 
46. Penulusuran Saya menapaki jejak-jejak muslim Patani pun membawa saya ke pesantren besar di Patani. Namanya Mahad Al Bithath Ad-Diniyah. Ini adalah pesantren terbesar di Patani.
 
47. Jumlah santrinya ribuan. Banyak sekali. Mereka sempat menyambut kami. Para siswa dikumpulkan di tengah lapangan. Dan, kami berdiri di depan. Seperti orang upacara. Itulah penghormatan mereka kepada saudaranya.
 
48. Saya sendiri lebih memilih blusukan ke dalam. Memfotoi mereka. Berbincang dengan mereka tentang Patani, Konflik, dan semangat belajar mereka.
 
49. Saya melihat lautan jilbab di Patani yang belum pernah saya temui. Ini di Thailand di mana mayoritas penduduknya adalah non-muslim. Tapi di Patani mereka teguh memegang identitasnya, meskipun mendapatkan teror dan ancaman.
 
50 Mau lihat liputannya? Saya lampirkan ya beritanya.
 
51. Ingin Lihat Lautan Jilbab, Pergilah ke Patani

Tak ada wanita muslimah tanpa jilbab di Patani. Mungkin Itulah kalimat pas untuk menujukkan semangat muslimah di daerah basis muslim di Selatan Thailand tersebut. Di tiap sudut jalan, kita menemui banyaknya para muslimah memakai jilbab bahkan cadar.

“Seluruh muslimah di Patani memakai jilbab, jika ada perempuan tidak berjilbab, maka dia orang Budha!” tandas Zakariya, Aktivis Hak Asasi Manusia, kepada Islampos di Patani, Selasa lalu.

Meski stigma Islam sebagai teroris dilancarkan, Muslimah Patani pantang melepas jilbab. Dalam segala aktivitas, jilbab menjadi bagian tak terpisahkan bagi mereka.

“Jilbab adalah ajaran Islam. Dan Melayu adalah Islam. Jika ada orang Melayu tidak pakai jilbab, berarti dia bukan orang Melayu,” tandas Zakariya yang mengaku pernah mendapat delapan tusukan dari tentara Thailand.

Bahkan dalam penelusuran ke Mahad Al Bithath Ad-Diniyah, Islampos menemukan lautan jilbab dari para pelajar. Pihak Mahad memang mewajibkan setiap pelajar putri untuk mengenakan jilbab lebar hingga menutupi dada.

“Ini adalah pakaian syar’i untuk muslimah,” kata staff pengajar, Abdullah, di Mahad yang menampung 6000 pelajar tersebut
.
 

 
52. Kisah kami di Patani pun akhirnya berakhir. Kami rombongan kemanusiaan dan wartawan izin pulang kepada mereka.
 
53. Cerita mengenai kegetiran rakyat Patani amat sangat sayang untuk dilewatkan. Tangan saya sudah gatal ingin menuliskannya setibanya di Indonesia.
 
54. Namun, siapa sangka, respons mereka ternyata berbeda. Mereka meminta kami tidak cepat pulang.
 
55. Mereka meminta kami tinggal lebih lama, membersamai mereka. "Tinggallah bersama kami beberapa hari lagi," ujar seorang warga, haru.
 
56. "Kalian adalah kakak tertua kami, wahai bangsa Indonesia," imbuhnya.
 
57. Beberapa aktivis di antara kami menangis. Mereka tidak kuasa menahan iba. Embun tiba-tiba menetes dari netranya. Melandai membasahi masjid Kresek tempat kami berpisah.
 
58. Saya sangat yakin, jurnalisme mempunyai tempat menyuarakan aspirasi mereka. Aspirasi bangsa yang telah puluhan tahun tertindas.
 
59. Perpisahan akhirnya benar-benar terjadi. Mereka menitip pesan agar bangsa Indonesia terus mendoaka rakyat Patani.
 
60. Kisah pilu juga didapat teman kami saat mengunjungi salah seorang muslimah Patani yang suaminya sudah tiada.
 
61. Butiran bening itu berkumpul pada sudut matanya yang sedang berkaca-kaca. Suaranya seakan berat, tertahan, “..terima kasih..” sambil menghela nafas sembari berusaha menyeka air matanya. Ucapan syukur tiada terkira, berkali-kali ucapan terima kasih itu terlafal. Linangan air mata itu tak dapat disembunyikan, ketika kami dari JITU mengunjunginya.
 
62. Hayati, wanita berjilbab lebar, itu berkata, “Alhamdulillah...saya bahagia..suami saya insya Allah mendapatkan apa yang diinginkannya.”
 
63. Demikian kisah yang bisa sampaikan mengenai perjalanan liputan ke Patani. Masih banyak kisah dan cerita yang ingin saya ungkapkan. Rasanya waktu 1-2 jam, 5-10 lembar lenbar, tidak cukup melukiskan bagaimana perasaan saudara-saudara kita di Patani.
 
64. Semoga catatan singkat ini bisa melecut jiwa kita untuk mendoakan mereka. Berkhidmat dalam jurnalisme untuk mengabarkan kondisi saudara-saudara kita yang sedang terzhalimi. Kurang lebihnya saya mohon maaf. Wasalam

Materi Islamic Journalist Class # Pengalaman Meliput Konflik di Patani, Thailand Selatan Materi Islamic Journalist Class # Pengalaman Meliput Konflik di Patani, Thailand Selatan Reviewed by Izza009 on 05.08 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.